FINISHED IS BETTER THAN PERFECT

Daebak!

Selang dua hari kemudian saya nge-blog kembali. Semoga semakin rajin ya saya (bicara pada diri sendiri). Tak perlu lah ekspektasi berlebihan. Jalani saja. Kalau jatuh bangkit lagi, gagal coba lagi (ini salah satu nasehat bijak yang sedang gencar saya tanamkan dalam diri). 

Seorang sahabat pernah menasehati saya dengan sebuah kalimat yang cukup membekas dan merasuk logika. Waktu itu saya sedang pusing setengah mati mengurusi sebuah proyek yang baru pertama kali saya pegang. Mungkin bagi sebagian orang sebenarnya mudah. Namun untuk orang dengan pengalaman nol seperti saya ditambah idealis akut membuat pekerjaan terasa dua kali lebih berat. Sebenarnya pekerjaan itu bisa diselesaikan lebih cepat. Hanya karena saya merasa ada banyak kekurangan namun tak kunjung menemukan alternatif solusi yang lebih baik, ditambah laptop yang ngadat semasa pengerjaan, waktu submit menjadi mundur dari jadwal seharusnya. Lalu saya merasa kecewa dan mulai menyalahkan diri sendiri, merasa tidak kompeten dalam bidang pekerjaan saya. Stres melanda dan dikuasai pikiran negatif:

'Seandainya pekerjaan ini tidak saya sanggupi mungkin saya tidak perlu mengalami keadaan ini.'

'Jika saya tidak idealis secara membabi buta mungkin pekerjaan ini bisa selesai tepat waktu.'

'Jika saja...'

'Kalau saja...'

'Andai saja...'

Dan banyak lagi pengandaian-pengandaian bernuansa kekecewaan yang semakin menambah "galau"nya saya. Pada situasi itu saya memutuskan untuk curhat pada sahabat saya. Setelah mendengar keluh kesah saya yang memakan waktu kurang lebih setengah jam, sahabat saya ini memberi respon yang menguatkan dan berusaha mengembalikan rasa percaya diri saya yang mendadak minggat. Dia paham betul dengan tabiat saya dan sama sekali tidak ada nada ataupun kalimat yang menyudutkan (benar-benar pendengar yang baik). Di akhir kalimatnya ada nasehat yang saya ingat betul berbunyi demikian:

"finished is better than perfect, selesai lebih baik daripada sempurna. Untuk apa sempurna tapi tidak pernah selesai? Malah tidak akan jadi sesuatu bukan? Tapi jika diselesaikan dan walaupun hasilnya kurang baik, mungkin akan ada kesempatan untuk merevisinya kembali."
Saya merenung setelah mendengarkan kata-katanya tersebut. Perkataan sahabat saya ada benarnya. Selama ini saya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mencari-cari sesuatu yang menurut pemandangan saya lebih baik dan lebih sempurna namun membuat kita stuck  dibanding berusaha menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kita terlalu sibuk dipusingkan dengan suatu hal yang sebenarnya cukup diselesaikan saja, but sometimes kita terlalu arogan untuk menerima keadaan dan berusaha menunjukkan bahwa kita mampu berbuat lebih baik. Hal yang baik sebenarnya jika diimbangi dengan manajemen waktu yang baik pula. Tapi jika sudah ada tenggat yang harus kita penuhi bukankah lebih baik diselesaikan sesuai kemampuan kita? 

Menerima kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita sedikit banyak akan memangkas ego dan menurunkan idealistis yang telah kita bangun selama ini. Faktanya di kehidupan nyata semua bisa 180 derajat berbeda. Segala hal bisa terjadi, kelewat dinamis hingga kita harus adaptif menghadapi sikon di lapangan. Kita dituntut untuk pintar membaca situasi dan bertanggungjawab untuk menyelesaikan apa yang sudah diamanatkan kepada kita. Ditambah orang-orang hanya ingin menuntut hasil tanpa mau tahu proses yang terjadi di dalamnya. Dalam dunia kerja kita mengenalnya sebagai sebuah profesionalitas. 

Well, seperti tulisan dini hari ini, jauh dari kata sempurna. Tapi paling tidak saya sudah menyelesaikannya. Daripada hanya menumpuk bersama draft lainnya karena menunggu 'sempurna' (which is tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan dan janji palsumu) kemudian tidak pernah dipublikasikan, lebih baik saya berbesar hati menerima bahwa inilah yang paling maksimal yang dapat saya tulis, sebab:
Finished is Better than Perfect
Tolong kamu, Venny Kurnia Andika camkan itu !





Surabaya, 25 April 2020
Dini hari, menjelang sahur hari kedua. 

Komentar